Unborn 8.0 Green Pointer
 photo cooltext1765938447_zpse0b0bdc3.png

Jumat, 24 Oktober 2014

Kewajiban Pajak Bagi WP Badan



Kewajiban yang harus dilakukan oleh wajib pajak setelah terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak dan memiliki NPWP adalah melakukan pembayaran dan melaporkan pajak yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya.



Selain itu, wajib pajak juga memiliki kewajiban untuk memungut/memotong dan menyetorkan pajak atas penghasilan yang dibayarkan/ terutang kepada pihak lainnya. Tatacara pemenuhan kewajiban tersebut diatur dalam undang-undang no 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-undang No 17 tahun 2000 besertaperaturan pelaksanannya.

Selain Pajak Penghasilan, bagi pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak juga memiliki kewajiban dibidang PPN dan PPn BM.

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak badan setelah memperoleh NPWP adalah sebagai berikut :

1. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa)

Setelah wajib pajak terdaftar di KPP dan memiliki NPWP, maka memiliki kewajiban untuk menyampaikan Surat PemberitahuanMasa/ bulanan ke kantor pelayanan pajak tempat wajib pajakterdaftar. Jenis SPT Masa yang harus disampaikan oleh wajib pajak badan terdiri dari :

a. SPT Masa PPh Pasal 25

PPh Pasal 25 merupakan angsuran PPh dalam tahun pajakberjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuksetiap bulan. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat PemberitahuanTahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu, setelah
dikurangi dengan PPh yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain dan PPh yang terutang/dibayar diluar negeri yang dapat dikreditkan; dibagi 12 (dua belas)

Bagi wajib pajak yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan (Wajib Pajak baru), besarnya Angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).

Batas waktu pembayaran PPh pasal 25 adalah setiap tanggal 15 bulan berikutnya. Apabila tanggal 15 jatuh pada hari libur, maka pembayaran Ph Pasal 25 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan batas untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 adalah 20 hari setelah berakhirnya masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya). Apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur, maka pelaporan harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Hari libur meliputi hari libur nasional dan hari-hari yang ditetapkan sebagai hari cuti bersama olehpemerintah.

Surat Setoran Pajak (SSP) PPh Pasal 25, juga merupakan SPT Masa PPh Pasal 25. SPT Masa PPh Pasal 25 ini, merupakan salah satu SPT Masa yang wajib disampaikan oleh wajib pajak badan, meskipun tidak terdapat pembayaran (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25, maka wajib pajak akan dikenakan sanksi berupa denda sebear Rp 50.000 untuk satu SPT Masa.

Bagi Wajib Pajak Badan selain yang bergerak dibidang usaha pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan, apabila melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan wajib menyetor PPh yang terutang atas pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan. Besarnya PPh yang terutang adalah 5% dari nilai tertinggi antara nilai transaksi dengan nilai NJOP. PPh yang terutang atas transaki pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan merupakan uang muka pajak yang dapat dikreditkan dalam PPh Badan pada akhir tahun.

b. SPT Masa PPh Pasal 21/26

PPh pasal 21 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi. Berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-unang PPh, PPh Pasal 21 wajib dipotong, disetor dan dilaporkan oleh pemotong pajak, yaitu : pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan dan penyelenggara kegiatan.

Wajib pajak badan selaku pemberi kerja yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh waib pajak orang pribadi wajib menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21. Batas waktu penyetoran PPh Pasal 21 adalah tanggal 10 bulan berikutnya, namun apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan batas waktu pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 adalah 20 hari setelah berakhirnya masa pajak (tanggal 20 bulan berikutnya), apabila tanggal 20 jatuh pada hari libur, maka penyampaian SPT Masa
PPh pasal 21 harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPh Pasal 21 juga merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan oleh Wajib Pajak Badan meskipun tidak terdapat penyetoran PPh Pasal 21/26 (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak tidak menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21, maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000,- untuk satu SPT Masa. 

c. SPT Masa PPN

Bagi Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) diwajibkan untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPn BM) serta menyampaikan SPT Masa PPN. Jatuh tempo penyetoran PPN adalah setiap tanggal 15 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian SPT Masa PPN adalah 20 hari setelah berakhirnya masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya). Seperti halnya pembayaran PPh Masa, apabila jatuh tempo penyetoran PPN jatuh pada hari libur, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan untuk pelaporan, apabila batas waktu pelaporan jatuh pada hari libur maka penyampaian SPT Masa PPN wajib dilakukan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPN merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan oleh Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, meskipun Nihil. Apabila Wajib yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPN maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu SPT Masa.

Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT PPN) adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak PPN dan PPn BM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
• Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
• Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
• Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.

d. SPT Masa PPh Pasal 23/26

PPh pasal 23 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima/diperoleh oleh wajib pajak badan dalam negeri atau bentuk usaha tetap; yang berupa :
• Deviden
• Bunga
• Royalti
• Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh pasal 21
• Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
• Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain (yg ditetapkan DJP) selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21.

PPh yang terutang atas penghasilan tersebut (PPh Pasal 23) wajib dipotong, disetorkan dan dilaporkan oleh pemotong PPh Pasal 23; yaitu badan pemerintah, subyek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan wajib pajak luar negeri lainnya; yang membayar/memberikan penghasilan yang merupakan obyek PPh pasal 23.

PPh Pasal 26 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan yang diterima/diperoleh oleh Wajib Pajak Luar Negeri yang berupa :
a. Deviden;
b. bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya ;

PPh yang terutang atas penghasilan tersebut (PPh Pasal 26) wajib dipotong, disetorkan dan dilaporkan oleh pemotong PPh Pasal 26. Pemotong PPh Pasal 26 yaitu badan pemerintah, subyek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan wajib pajak luar negeri lainnya; yang membayar/memberikan penghasilan yang merupakan obyek PPhpasal 26.

Batas waktu penyetoran PPh Pasal 23/26 oleh pemotong PPh adalah tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian SPT Masa PPh pasal 23/26 adalah anggal 20 bulan berikutnya. Apabila tanggal jatuh tempo penyetoran PPh pasal 23/26 jatuh pada hari libur maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Namun apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka laporan harus disampaikan pada hari kerja sebelumnya.

SPT Masa PPh Pasal 23/26 hanya wajib dilaporkan ke KPP apabila terdapat pembayaran yang terutang PPh Pasal 23/26. Dengan demikian tidak terdapat SPT Masa PPh pasal 23/26 Nihil.

e. SPT Masa PPh Final pasal 4 (2)

1) PPh final atas penghasilan yang diterima/diperoleholeh wajib pajak sendiri

Bagi Wajib Pajak Badan yang memperoleh penghasilan yang merupakan obyek PPh final, maka diwajibkan untuk membayar dan melaporkan PPh final pasal 4 (2) yang terutang atas penghasilan tersebut.

Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan pembayaran PPh-nya wajib dilakukan sendiri oleh penerima penghasilan (Wajib pajak Badan) adalah sebagai berikut :

• Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;

Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WP Badan dari kegiatan persewaan tanah dan atau bangunan juga merupakan obyek PPh final pasal 4 (2). Dalam hal penyewa adalah bukan pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas penghasilan dari transaksi persewaan tanah dan atau bangunan wajib dibayar sendiri oleh penerima penghasilan. Besarnya PPh yang terutang atas transaksi ini adalah sebesar 10% dari jumlah bruto nilai persewaan.

Apabila penyewa adalah pemotong pajak (WP Badan), maka pelunasan PPh final atas transaksi ini dilakukan melaluipemotongan oleh pihak penyewa. Pemotong pajak (penyewa) wajib memberikan bukti pemotongan (Bukti Potong PPh Final pasal 4 (2)) kepada wajib pajak (penerima penghasilan).

Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini adalah tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu pelaporan adalah tanggal 20 bulan berikutnya.

• Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi;

Apabila pemakai jasa bukan merupakan pemotong PPh, atas Penghasilan yang diterima/diperoleh oleh WP Badan (yang tidak memiliki sertifikasi sebagai pengusaha kontruksi menengah atau besar) dari kegiatan Jasa Konstruksi, PPh yang terutang atas penghasilan tersebut wajib dibayar sendiri oleh wajib pajak. Namun apabila pemakai jasa merupakan pemotong pajak, maka PPh yang terutang atas kegiatan ini pelunasannya dilakukan melalui pemotongan oleh pemakai jasa. Pemotong pajak (Pemakai jasa) wajib memberikan bukti potong. Besarnya PPh final pasal 4 (2) yang terutang atas penghasilan dari kegiatan jasa konstruksi adalah sbb :

a) Jasa Perencanaan Konstruksi  4% (empat persen) dari jumlah bruto;
b) Jasa Pelaksanaan Konstruksi  2% (dua persen) dari jumlah bruto;
c) Jasa Pengawasan Konstruksi  4% (empat persen) dari jumlah bruto.

2) PPh final atas penghasilan yang dibayarkan/terutang kepada pihak lain

Wajib pajak badan yang melakukan pembayaran/memberikan penghasilan tertentu yang pengenaan pajaknya telah diatur dengan peraturan pemerintah dan dikenakan PPh final diwajibkan untuk memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh yang terutang atas penghasilan tersebut ke kantor pajak. Penghasilan yang pengenaan pajaknya telah diatur dengan peraturan pemerintah dan dikenakan PPh yang bersifat final adalah :

• Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek.
• Penghasilan dari hadiah undian
• Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan
• Penghasilan dari bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia.
• Penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan
• Penghasilan dari obligasi yang diperdagangkan di bursa efek
• Penghasilan dari usaha jasa konstruksi
Apabila terdapat transaksi yang merupakan obyek PPh final, wajib pajak badan yang melakukan transaksi tersebut wajib memotong, menyetorkan dan melaporkan PPh yang terutang. Pelaporan PPh final dilakukan dengan menggunakan SPT Masa PPh Final.

SPT Masa PPh Final hanya wajib dilaporkan oleh wajib pajak badan apabila terdapat transaksi yang berhubungan dengan obyek PPh final, sehingga tidak ada SPT Masa PPh Final Nihil.

2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan)

a. SPT Tahunan PPh Badan (SPT 1771)

Setelah berakhirnya tahun pajak, Wajib pajak diwajibkan untuk menyampaikan SPT Tahunan (SPT Tahunan PPh Badan – SPT 1771). SPT Tahunan paling lambat disampaikan 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak/tahun buku.

Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT Tahunan) bagi Wajib Pajak adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :

• Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
• Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak;
• Harta dan kewajiban;

b. SPT Tahunan PPh 21 (SPT 1721)

Selain melaporkan SPT Tahunan PPh Badan, Wajib Pajak Badan selaku pemotong PPh pasal 21 juga diwajibkan menyampaikan SPT Tahunan PPh pasal 21. Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir, Pemotong Pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan menurut tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 UU PPh.

Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus disampaikan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya. Batas waktu pelaporan ini berlaku juga bagi wajib pajak yang tahun bukunya berbeda dengan tahun takwim.

Baca juga ini: 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar